BERSAING DALAM KEBERSAMAAN
Di
era 80-an, mungkin bagi anda yang se-generasi dengan saya, tentunya
pernah merasa asyik dengan lagu-lagu grup band terkenal dari Inggris
bernama Queen. Ada satu lagu dari grup ini yang juga cukup dikenal dan
mudah akrab ditelinga berjudul “Hammer to Fall”. Sebuah lagu yang
mencoba menceritakan kepada kita sebuah pendapat bahwa hidup ini tak
ubahnya seberti sebuah palu yang diketok. Artinya apa pun yang terjadi
kepada kita seperti sebuah misteri yang diputuskan oleh sebuah kekuatan
yang maha besar, dan ketika itu semua sudah diputuskan, maka tak ada
yang bisa kita lakukan.
Saya
sendiri tidak begitu setuju dengan bung Freddy Mercury, atas pendapatnya
dalam lagu ini. Namun kurang lebih semangat dalam lagu ini seperti apa
yang coba saya gambarkan ketika melihat ‘Menjadi Pemenang’ pada iklim
‘kebersamaan’. Kita coba hilangkan dulu penilaian akan negatif maupun
positif, atau benar-salahnya. Kita coba melihat apa adanya, bagaimana
sebuah semangat Menjadi Pemenang dalam iklim kebersamaan.
Ada
sebuah pendapat yang mengatakan segala apa yang terjadi pada kita adalah
takdir. Mungkin juga hal itu bisa menjadi pendekatan terjemahan bebas
dari ‘palu diketok’ pada ‘Hammer to Fall’. Kebersamaan yang melihat
bahwa kita manusia diciptakan secara sama, dan harus bersama-sama
menanggung segala hal yang menimpa kita. Setiap bentuk tantangan selalu
didahului tengok kanan tengok kiri melihat respon orang-orang di sekitar
kita untuk pengatasannya. Sehingga ketika respon terhadap masalah itu
sudah dilakukan, yang terjadi kemudian, baik buruk, menjadi pemenang
atau tidak lebih disikapi sebagai takdir yang harus kita terima sebagai
keputusan terhadap kita. Sebuah ‘hammer to fall’ untuk diri kita
masing-masing.
Sehingga
gegap gempita motivasi yang membakar semangat mengajak seseorang
menjadi pemenang, akan dilihat bagi orang yang ‘masih’ berada pada iklim
kebersamaan, sebagai sebuah upaya yang dianggap terlalu mengada-ada.
Lalu bagaimana?
Gegap
gempita ajakan ‘menjadi pemenang’ bagi orang yang berparadigma bahwa
kita berada pada iklim melulu persaingan, tentunya akan menumbuhkan
semangat pada dirinya untuk semakin ‘mengalahkan’ orang lain, atau kalau
tidak mungkin, justru berusaha menipu diri sendiri bahwa dia telah
mengalahkan orang lain. Seperti kisah seorang tua yang memberikan piala
palsu kepada anaknya pada artikel saya terdahulu.
Sementara
di telinga orang yang melihat hanya pada iklim kebersamaan. Motivasi
‘menjadi pemenang’ yang membakar seperti apa pun akan disikapi dengan
dingin. ‘Masih banyak orang yang bernasib lebih buruk dari saya..’
mungkin begitu respon dalam hati orang ini.
Sehingga
bagi saya, ajakan menjadi pemenang seharusnya diawali dengan sebuah
upaya untuk masing-masing mengenali paradigma dalam diri, apa yang saat
ini mereka lihat dalam iklim kehidupan mereka. Apakah mereka melihat
bahwa hidup ini adalah sebuah persaingan, atau hidup ini tak lain
‘hanyalah’ sebuah “hammer to fall”.
Sehingga
ketika masing masing dari kita bisa mengenali diri sendiri atas apa
yang kita lihat dalam kehidupan ini. Yang dilakukan kemudian akan sangat
tergantung dari masing-masing individu dalam kita memacu kemauan diri
kita sendiri. Dan hal itu akan mengkutub kepada dua hal yaitu, apakah
kita akan menyemangati diri kita untuk mau bersaing dengan sesama, bagi
mereka yang melihat bahwa kita berada pada iklim kebersamaan, atau kita
harus mendidik diri kita untuk memupuk rasa kebersamaan bagi yang merasa
memiliki mental scarcity mentality.
Pilihan
Menjadi Pemenang, yang akan mengarahkan diri kita sebagai orang yang
mampu bersaing dalam kebersamaan, atau orang yang bisa hidup bersama
dalam suasana persaingan. Dan pilihan mana yang sebaiknya, akan sangat
tergantung justru kepada kemampuan kita melihat dan memahami diri kita
sendiri. Bukan tergantung pada seberapa pandai dan hebat sang motivator
membakar semangat kita untuk Menjadi Pemenang...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar